Salah Satu Faktor Rendahnya Mutu Guru Indonesia

nepotisme bgtGuru yang merupakan garda terdepan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia sudah seharusnya merupakan orang-orang pilihan yang benar-benar berkompeten. Indonesia tengah haus menanti guru yang benar-benar profesional. Salah satu faktor rendahnnya kualitas pendidikan salah satunya dari faktor perekrutan guru. Hal inilah yang menyebabkan guru-guru yang kita miliki saat ini mempunyai mutu rendah.

Sudah merupakan rahasia umum bahwa pengangkatan guru hanya mengedepankan faktor KKN semata. Sebagai contoh, seorang teman ketika sama-sama kuliah dia merupakan orang yang paling menonjol di kelas, bahkan saat lulus dia memperoleh IPK 3,85. Softskillnya pun lumayan menonjol, terbukti saat aktif di organisasi dia selalu giat menjalankan tugas. Namun setelah selesai kuliah dia terpaksa “terlunta-lunta” mencari tempat bekerja di daerahnya. Banyak surat lamaran yang telah dia edarkan ke sekolah-sekolah dengan hasil nihil. Akhirnya dia terpaksa menggadaikan gelar sarjananya sebagai penjaga sebuah konter HP kecil sampai suatu saat dia memperoleh panggilan mengajar di suatu sekolah, itupun hanya menggantikan seorang guru yang tengah cuti. Entah bagaimana nasibnya kelak ketika guru tersebut sudah aktif lagi di sekolah.

Teman yang lain, dia lulus dengan IPK pas-pasan dan jauh lebih kecil dari yang satunya. Ketika kuliahpun tak pernah dia mengikuti organisasi, bisa dibilang dia hanya 3K “Kost-Kampus-Kantin”. Dia juga tidak menonjol di kelas. Namun setelah dinyatakan lulus dia langsung diangkat sebagai guru di salah satu sekolah. Usut punya usut ternyata keluarganya ada yang kepala sekolah. Tidak tanggung-tanggung dia langsung didaulat untuk mengajar selama lebih dari 24 jam per minggu. Sudah mengalahkan guru yang lulus sertifikasi.

Masih banyak lagi contoh serupa di negara kita, bahkan bisa dikatakan “sebagian besar” guru kita berawal dari kasus serupa. Ini lah kiranya yang membuat mutu pendidikan kita rendah. Orang yang tidak jelas bibit, bebet, bobotnya yang memperoleh “peluang” untuk mengajar.

Seperti apapun kurikulum kita diganti, jika garda terdepan pelaksana kurikulum saja seperti ini akan sia-sia belaka. Ratusan trilyun uang rakyat yang digelontorkan untuk pendidikan dan perubahan kurikulum akan menguap sia-sia tanpa sisa. []